JAGUARNEWS77.com//Pandeglang - Penanganan Insiden Kapal Kargo MV FELYA di Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon Dinilai Lambat, Khawatir dampak lingkungan bertambah parah.
Kapal kargo MV FELYA yang terdampar di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, sebuah area konservasi yang sangat penting bagi keanekaragaman hayati Indonesia, menimbulkan kekhawatiran serius terkait potensi kerusakan lingkungan.
Proses penanganan insiden ini dinilai lambat, sehingga meningkatkan risiko pencemaran dan kerusakan pada ekosistem yang sensitif. Pihak berwenang dan tim penyelamat diharapkan untuk segera mengambil tindakan yang efektif guna meminimalkan dampak lingkungan dan menjaga kelestarian kawasan konservasi ini.
Pemulihan Ekosistem di Kawasan Konservasi, Jangan Lagi Ada Penundaan."TB. Wawan Hermawan Ketua Gapela. Pemerhati Lingkungan
Peristiwa terdamparnya kapal MV Felya di perairan Taman Nasional Ujung Kulon bukanlah sekadar kecelakaan pelayaran. Ia adalah cermin buram dari kelambanan birokrasi, lemahnya koordinasi antar instansi, dan rendahnya keberpihakan kebijakan terhadap perlindungan lingkungan hidup.
Berbulan-bulan kerangka kapal dibiarkan tanpa kejelasan penanganan. Padahal, kawasan tersebut adalah habitat langka seperti badak Jawa dan rumah bagi ekosistem laut yang rentan. Dugaan adanya muatan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) memperparah kekhawatiran akan potensi pencemaran lingkungan yang sistemik dan berkelanjutan.
Ancaman Nyata, Respons Lambat
Pencemaran di kawasan konservasi tidak hanya berdampak jangka pendek, tetapi dapat menciptakan ketidakseimbangan ekosistem yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk pulih. Namun, meski risiko sudah nyata, respons tetap berjalan lambat. Tanggung jawab pun terus berpindah-pindah antara pemilik kapal, perusahaan asuransi, dan otoritas pelabuhan maupun lingkungan.
Seharusnya, sejak awal penanganan insiden mengacu pada prinsip tata kelola lingkungan yang tegas dan terpadu. Dalam hal ini, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 27 Tahun 2022 (perubahan ketiga atas PM 71 Tahun 2013 tentang Salvage dan Pekerjaan Bawah Air) sudah menetapkan kewajiban penyingkiran bangkai kapal oleh pemilik. Selain itu, ketentuan izin pengelolaan limbah B3 harus ditegakkan secara paralel oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Lanjut wawan. Sayangnya, lemahnya integrasi antar-regulasi sektoral membuat proses justru terhambat. Tidak ada mekanisme cepat lintas sektor. Tidak ada protokol darurat di kawasan konservasi. Tidak ada tekanan hukum yang cukup kuat untuk memastikan pemulihan segera dilakukan.
Kewajiban yang Diatur, Penegakan yang Lemah
Pasal 203 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyatakan dengan tegas bahwa pemilik kapal bertanggung jawab atas penyingkiran kapal dan pemulihan lingkungan. Apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan, sanksi administratif, perdata, hingga pidana dapat dikenakan.
Namun dalam praktik, penegakan aturan ini terlalu sering kompromistis. Pemilik kapal kerap berlindung di balik alasan teknis, prosedur klaim asuransi, atau menunggu "kepastian hukum" yang tak kunjung datang. Di sisi lain, otoritas lingkungan tampak pasif menanti alur birokrasi selesai, alih-alih menginisiasi tindakan darurat ekologis yang dapat menyelamatkan kawasan konservasi dari dampak berkepanjangan.
Ekologi Bukan Tambahan, Tapi Fondasi
Pembangunan yang berkelanjutan mustahil dicapai tanpa lingkungan hidup yang sehat. Namun, selama ini kebijakan pembangunan masih menempatkan aspek ekologi sebagai beban, bukan sebagai fondasi. Lingkungan hidup hanya diperhitungkan setelah segala sesuatu terlambat, bahkan sering kali diabaikan begitu kerugian ekonomi jangka pendek lebih diutamakan.
Padahal, pemulihan ekosistem bukanlah pilihan, tetapi kewajiban. Tanpa pendekatan ekologis dalam setiap keputusan sektor pelayaran, perhubungan laut, dan pengelolaan kawasan konservasi, maka setiap insiden seperti MV Felya akan terus berulang dengan dampak yang kian merusak.
Arah Reformasi yang Mendesak
Peristiwa MV Felya menjadi momentum untuk melakukan koreksi mendasar dalam penanganan pencemaran lingkungan, khususnya di kawasan konservasi Taman Nasional Ujungkulon . Beberapa langkah yang harus segera ditempuh:
1. Menyusun protokol penanganan kapal rusak di kawasan konservasi yang melibatkan KLHK, Kementerian Perhubungan, otoritas pelabuhan, dan lembaga penegak hukum.
2. Memastikan bahwa semua izin salvage dan penanganan limbah B3 dikeluarkan secara terpadu dan tidak saling menunggu.
3. Membentuk unit reaksi cepat pemulihan ekosistem yang dapat bertindak dalam waktu 24 jam pada kasus-kasus pencemaran lingkungan di kawasan prioritas konservasi.
4. Menetapkan sanksi yang tegas dan dapat dijalankan langsung terhadap pemilik kapal dan perusahaan asuransi yang menunda tanggung jawab.
5. Melibatkan masyarakat sipil dalam pengawasan dan advokasi agar penanganan insiden berjalan transparan dan akuntabel.
Keterlambatan bukan lagi persoalan teknis, tetapi cermin dari kegagalan politik dan moral dalam melindungi lingkungan. Setiap hari keterlambatan berarti satu langkah lebih dekat pada kerusakan yang tidak bisa dipulihkan. Kasus MV Felya harus menjadi pelajaran terakhir, bukan awal dari pola berulang.
Sudah waktunya negara hadir secara utuh dalam setiap inci wilayah konservasi. Tidak cukup dengan regulasi, tetapi dengan tindakan cepat, kolaborasi nyata, dan keberpihakan pada kelestarian alam sebagai warisan generasi mendatang."Tutup Wawan Hermawan.
(Djemi)