• Jelajahi

    Copyright © JAGUAR NEWS 77
    Best Viral Premium Blogger Templates

    More Post

    Iuran Janggal di Komisi Antirasuah

    04/04/22, 21:15 WIB Last Updated 2022-04-04T14:15:43Z


    JAGUARNEWS77.com # Jakarta - KPK mengelola dana non-APBN yang bersumber dari pungutan pegawai sejak 2021. Ahli keuangan negara menilai pengelolaan dana nonbujeter itu serupa dengan modus kasus korupsi yang pernah ditangani KPK pada 2007.


    Setelah menerima uang bonus tahunan pada awal Maret 2022, sebagian pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dikagetkan oleh masuknya sebuah surat ke e-mail mereka. Surel yang dikirim oleh kepala sekretariat deputi itu berisi pemberitahuan dan surat edaran. Isinya, pimpinan KPK meminta para pegawai memberikan sumbangan dengan dalih 'aksi kepedulian'.


    Ini bukan hal yang wajar. Seorang pegawai KPK memandang tidak seharusnya lembaga negara mengelola duit yang tidak bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. "Memangnya, KPK punya tupoksi (tugas pokok dan fungsi) menggalang dana pegawai?" kata pegawai ini kepada reporter detikX pekan lalu.


    Surat yang dimaksud adalah SE KPK Nomor 5 Tahun 2022 bertajuk ‘Imbauan Aksi Kepedulian Keluarga Besar Insan KPK untuk Bencana Alam/Non-Alam Nasional dan Penanganan Pandemi COVID-19 di Lingkungan KPK’. Di kepala surat tercantum logo KPK dan di bagian bawah tertera tanda tangan Sekretaris Jenderal KPK Cahya Hardianto Harefa dengan mengatasnamakan pimpinan KPK.


    Sekretaris Jenderal KPK Cahya Hardianto Harefa.
    Foto : Ari Saputra/detikcom


    Kami, kan, ada rencana anggarannya, yang sakit berapa, yang meninggal berapa. Kalau targetnya ada, lalu pengumpulannya tidak menghitung angkanya, kan, omong kosong juga."

    Menurut sumber ini, memang KPK menggunakan rekening Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) yang ada di KPK untuk menampung dana para pegawai dalam kegiatan tersebut. Namun, berdasarkan kop surat dan tanda tangan yang ada di SE, sumber ini meyakini, KPK yang akan mengelola dana non-APBN tersebut.


    Kejanggalan juga dirasakan oleh pegawai lainnya setelah mendapat SE tersebut. Di nomor 5 huruf F dalam SE itu tertulis komisi antirasuah tersebut mengimbau para pegawai secara sukarela berkontribusi aktif dalam Aksi KPK Peduli dengan memberikan donasi. Jumlah minimal donasi berbeda-beda, tergantung jabatan setiap pegawai.


    Untuk jabatan terendah, yaitu pelaksana dan jabatan fungsional keterampilan, nilai nominalnya Rp 250 ribu per orang. Di tingkat berikutnya Rp 500 ribu, Rp 1 juta, Rp 2 juta, dan yang tertinggi Rp 3 juta untuk jabatan pimpinan tinggi madya atau setara dengan eselon I.


    "Imbauan itu katanya sukarela, tetapi ada penekanan 'berkontribusi aktif' di kalimatnya seperti memaksa," kata pegawai ini. "Teman-teman juga heran. Kok, angkanya dipatok sedemikian besar? Kalau sumbangan, harusnya bebas saja, dong."


    Berdasarkan SE tersebut, KPK berencana menggunakan dana nonbujeter yang bersumber dari pungutan para pegawai untuk beberapa hal, di antaranya penanggulangan pandemi COVID-19 di lingkungan KPK serta bencana alam di Sumatera Barat, Banten, dan daerah lain yang membutuhkan.


    Awal Mula Pengelolaan Dana Non-APBN di KPK


    Tiga pegawai yang bercerita kepada detikX meyakini SE itu merupakan kelanjutan dari SE serupa pada tahun sebelumnya. Mereka menjelaskan pertama kali KPK mengelola dana non-APBN yang bersumber dari pungutan para pegawai terjadi pada Maret 2021.


    Kala itu, sama seperti tahun ini, persis setelah bonus tahunan pegawai diberikan, KPK mengeluarkan SE Nomor 7 Tahun 2021 tentang Imbauan Aksi Kepedulian kepada Keluarga Besar Insan KPK yang Terdampak Pandemi COVID-19. SE itu ditandatangani Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Dia berdalih kegiatan ini untuk membantu para pegawai yang mengalami penurunan penghasilan karena terkena COVID-19. Mereka adalah pegawai berstatus tidak tetap dan outsourcing.


    KPK meminta seluruh pegawai berkontribusi dengan memberikan donasi Rp 250 ribu per orang dan dikirimkan ke rekening pribadi atas nama kepala sekretariat deputi masing-masing. Berbeda dengan tahun ini, saat itu gradasi jabatan tidak dijadikan dasar untuk membedakan batas minimal sumbangan.


    Hingga kemudian muncul SE 20 Tahun 2021 yang ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri. Isinya perubahan dari SE sebelumnya. Dalam SE itu, Firli menekankan agar kepala sekretariat dan sekretaris biro melakukan pencatatan dan pengumpulan, serta mengirimkan email pengingat agar pegawai memberikan sumbangan. 


    Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
    Foto : Jauh Hari Wawan S/detikcom


    Saat SE yang ditandatangani Alexander Marwata diedarkan, KPK belum memiliki Korpri karena para pegawainya belum berubah menjadi ASN, tetapi KPK memiliki Wadah Pegawai (WP). Alih-alih menggunakan rekening WP dan menyerahkan pengelolaan dana non-APBN itu kepada pengurus WP, pimpinan KPK justru lebih memilih mengelolanya sendiri.


    Dua sumber detikX yang mengetahui kegiatan tersebut mengatakan hal itu terjadi karena arahan salah satu pimpinan KPK. Padahal, sebelumnya, sudah ada usul untuk menyerahkan pengelolaan dana itu ke WP.


    Eks pengurus WP yang kini menjadi Ketua IM57+, Praswad Nugraha, mengatakan memang kegiatan-kegiatan untuk kepentingan pegawai dalam konteks penanganan COVID-19 adalah salah satu fokus kegiatan WP. Sebelum SE dari KPK itu, WP sudah lebih dulu menggalang donasi sukarela.


    “Waktu itu, kan, sebenarnya (kegiatan donasi untuk kebutuhan pegawai) sudah diinisiasi oleh WP,” kata Praswad. “Saat itu sepertinya pimpinan sangat alergi sama WP.”


    Juru bicara KPK Ali Fikri membantah bahwa pengelolaan dana pegawai oleh KPK itu karena didasari sentimen terhadap WP. Dia mengklaim, kebijakan yang akhirnya mengharuskan KPK mengelola dana non-APBN dengan menampungnya di rekening pribadi pegawai itu lebih berpatok pada efektivitas. “Biar lebih cepat teknisnya,” kata dia.


    Salah satu pegawai menceritakan, pada mulanya, kebijakan itu sempat menjadi polemik di kalangan pegawai KPK. Sebagian merasa keberatan karena diminta memberikan sumbangan oleh lembaga negara walaupun niatnya baik. “Waktu itu bahkan seorang penyidik senior mempertanyakan itu melalui e-mail,” kata sumber ini.


    Eks pegawai KPK Rieswin Rachwell ingat momen tersebut. Kala itu Rieswin adalah pegawai KPK di Kedeputian Penindakan. Dia menjelaskan penyidik senior itu mempertanyakan tentang cara KPK mengelola dan mempertanggungjawabkan dana non-APBN tersebut.


    “Dia menanyakan (dana) ini ditampung di rekening siapa, terus pertanggungjawabannya gimana kalau dana besar tahu-tahu mengendap di rekening pegawai KPK,” kata Rieswin.


    Eks pegawai KPK lainnya yang saat itu bekerja di Kedeputian Penindakan, Praswad Nugraha, menjelaskan polemik yang terjadi kala itu karena para pegawai tahu KPK tidak mungkin menggunakan rekening resmi untuk menampung dana non-APBN.


    “Menghimpun dana COVID melalui surat edaran itu, kan, (kebijakan) resmi, ya, sementara tidak mungkin menggunakan rekening resmi, rekening yang menampung APBN,” kata Praswad.


    Bukan hanya pengelolaan dana pegawai yang bermasalah, Praswad melanjutkan, cara pengumpulan dana itu pun banyak dikeluhkan. Kala itu admin sekretariat Deputi Penindakan secara rutin menagih para pegawai untuk turut berdonasi melalui e-mail dan grup WhatsApp. Bahkan, menjelang tenggat pengumpulan dana, sekretariat deputi mengumumkan nama-nama para pegawai yang sudah dan yang belum berdonasi.


    “Kalau tidak memberi donasi, ya, malulah kita karena nama-nama kami diumumkan,” tuturnya.


    Cerita ini dibenarkan tiga pegawai KPK yang menjadi sumber detikX. Salah satu pegawai mengaku pada awalnya ngotot tidak mau ikut memberikan sumbangan janggal yang diorganisasi KPK itu. Namun, karena dinasihati atasannya agar jangan sampai hal itu mengganggu konsentrasi terhadap pekerjaannya, ia kemudian rela membayarnya.


    “Saya bilang ke dia, saya anggap ini perintah Bapak sebagai atasan, ya,” kata pegawai ini. “Akhirnya saya transfer ke rekening pribadi kepala sekretariat deputi.”




    Cara KPK Mengelola Dana Non-APBN


    Berdasarkan penelusuran detikX, duit hasil sumbangan para pegawai KPK pada 2021 itu awalnya diserahkan kepada ke sekretariat deputi masing-masing. Mekanisme penyerahannya tunai dan transfer ke rekening pribadi kepala sekretariat deputi.


    Seluruh sekretariat deputi kemudian merekapitulasinya, lalu dikirim ke rekening atas nama Airien Marttanti Koesniar selaku Wakil Ketua Tim Aksi Kepedulian, yang juga Kepala Bagian Rumah Tangga KPK kala itu.


    Airien, yang saat ini sudah tidak lagi menjadi pegawai KPK, mengkonfirmasi hal tersebut. Dia mengatakan, atas perintah Kepala Biro Umum Yonathan Demme sebagai atasannya kala itu, dia mengelola uang para pegawai itu. Dia kemudian membuka rekening baru atas namanya dan menampung dana-dana pegawai di rekening tersebut.


    “Untuk pengamanan dan memudahkan penyaluran sumbangan. ATM dan buku tabungannya dipegang oleh orang yang berbeda di Biro Umum KPK,” kata Airien kepada reporter detikX pekan lalu.


    Seluruh pengeluaran dari rekening tersebut, Airien melanjutkan, didasari oleh perintah dan persetujuan Yonathan. Dia pun meyakini semua transaksi kala itu ada buktinya dan telah dipertanggungjawabkan dalam laporan.


    Laporan yang Airien buat diserahkan kepada Ketua Tim Aksi Kepedulian yang juga Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Yuyuk Andriati Iskak. Yuyuk kemudian menyampaikan laporan tersebut kepada para pegawai melalui surel.


    Yuyuk mengatakan, waktu itu, penggunaan rekening pribadi pegawai untuk mengelola dana sumbangan tersebut pun sudah diberitahukan kepada direktorat gratifikasi di KPK.


    Plt Juru bicara KPK Ali Fikri menjelaskan, memang, donasi tersebut menggunakan pendekatan kelembagaan. Pendekatan kelembagaan itu digunakan agar donasi pegawai menjadi bisa diorganisasi secara rapi. Namun dia membantah bahwa permintaan donasi melalui SE itu dianggap bersifat wajib.


    "Kalau kewajiban, kan, harus ada sanksi. Jadi ini sifatnya sukarela saja," kata Ali kepada reporter detikX pekan lalu.


    Memang, Ali melanjutkan, ada batasan nilai nominal sumbangan. Namun itu tidak berarti pegawai harus menyumbang sesuai dengan nominal tersebut. Standar nilai nominal itu dibuat agar dana bisa terkumpul sesuai dengan rencana penggunaannya.


    "Tidak bayar, ya, tidak apa-apa. Kan, balik lagi ke kemanusiaannya dia (pegawai)," kata Ali. "Kami, kan, ada rencana anggarannya, yang sakit berapa, yang meninggal berapa. Kalau targetnya ada, lalu pengumpulannya tidak menghitung angkanya, kan, omong kosong juga."


    Mengenai dasar hukum KPK mengelola dana non-APBN dan menggunakan rekening pribadi pegawai, Ali tidak menjelaskannya. Dia hanya mengatakan KPK akan membuat laporan pertanggungjawaban terkait kegiatan donasi itu kepada seluruh pegawai, pimpinan, dan Dewan Pengawas.


    "Ini sukarela. Tidak ada anggaran negara (di KPK) yang disalurkan untuk pegawai yang terkena COVID," kata dia.


    Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri.
    Foto : Ari Saputra/detikcom


    Seperti Kasus yang Pernah Ditangani KPK


    Ahli keuangan negara Dian Puji Simatupang menegaskan kementerian dan lembaga negara tidak boleh mengelola dana off-budget atau nonbujeter. Dana nonbujeter adalah dana yang tidak dianggarkan dalam APBN.


    Kebijakan KPK membuat surat edaran untuk menerima uang para pegawai dan mengelolanya mengingatkan Dian pada kasus korupsi eks Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri pada 2007. Dalam kasus yang ditangani KPK ini, Rokhmin terbukti melakukan korupsi dengan modus pengumpulan dana nonbujeter dari para nelayan dengan menggunakan jabatannya.


    "Rokhmin Dahuri dulu, kan, seperti ini. Dia memungut uang dari nelayan," kata Dian kepada reporter detikX pekan lalu.


    Dosen Universitas Indonesia itu menegaskan kementerian dan lembaga negara hanya boleh mengelola uang APBN. Itu sebabnya, pengelolaan dana nonbujeter yang dilakukan KPK tidak dapat dibenarkan.


    "Lembaga pemerintah tidak boleh melakukan suatu pungutan apa pun di luar bujet APBN dengan dalih apa pun," terangnya. "(Yang dilakukan KPK) itu melanggar UU Perbendaharaan Negara. Kecuali kalau sifatnya informal seperti arisan. Kalau dia menggunakan surat dengan kop KPK, berarti, kan, sudah menggunakan jabatan."


    Menurutnya, sejak 2021, seharusnya KPK menyerahkan urusan kesejahteraan pegawai yang terdampak pandemi COVID-19 ke organisasi pegawai, yaitu WP KPK. Sebab, itu memang bukan tupoksi pimpinan KPK.


    Menurutnya, penggunaan dana nonbujeter ini memiliki potensi penyimpanan tinggi. Sebab, tidak ada mekanisme pengendalian dan pengawasan yang jelas.


    "Itu yang bahaya sekali. Karena dana ini tersembunyi, kan, namanya juga off-budget atau nonbujeter," kata dia.


    Dian pun memandang dalih KPK mengeluarkan surat edaran resmi tahun ini untuk kepedulian terhadap bencana alam di beberapa tempat tidak bisa dibenarkan. "Saran saya, KPK buat yayasan saja kalau begitu, karena kegiatan ini seperti yayasan," katanya.


    Artikel ini telah tayanh di detiknews.com (Red)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini