• Jelajahi

    Copyright © JAGUAR NEWS 77
    Best Viral Premium Blogger Templates

    More Post

    Rudy Hariyanto Di Laporkan Ke Propam Polri

    08/07/20, 08:57 WIB Last Updated 2020-07-08T01:57:25Z


    JAGUARNEWS77.com # Jakarta - Tim advokasi Novel Baswedan melaporkan Irjen Pol Rudy Heriyanto ke Divisi Propam Polri atas dugaan pelanggaran kode etik profesi.


    Ketua tim pengacara dua terdakwa penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK itu diduga telah menghilangkan barang bukti dalam perkara tersebut.


    "Proses penuntasan teror yang menimpa Penyidik KPK, Novel Baswedan, semakin suram. Sehingga, dapat dipastikan, Novel selaku korban tidak akan memperoleh rasa keadilan dalam penanganan perkara ini," kata anggota tim advokasi, Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Rabu (8/7/2020).


    Sebagaimana diketahui, Kurnia menjelaskan, Irjen Rudy sebelum menjabat sebagai Kepala Divisi Hukum Polri merupakan bagian dari tim penyidik yang menangani perkara penyiraman air keras terhadap Novel.


    Saat itu Irjen Rudy menduduki posisi sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.


    "Sehingga, segala persoalan dalam proses penyidikan menjadi tanggung jawab dari yang bersangkutan. Termasuk dalam hal ini adalah dugaan penghilangan barang bukti yang terkesan sengaja dilakukan untuk menutupi fakta sebenarnya," katanya.


    Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu kemudian memberikan empat landasan yang membuat tim advokasi Novel Baswedan melaporkan Irjen Rudy ke Divisi Propam Polri.


    Pertama, sidik jari pelaku di botol dan gelas yang digunakan sebagai alat penyerangan hilang.


    Kata Kurnia, pada 17 April 2019 yang lalu Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menyampaikan bahwa tim penyidik tidak menemukan sidik jari dari gelas yang digunakan oleh pelaku untuk menyiram wajah Novel Baswedan.


    Padahal dalam banyak pengakuan, baik dari korban atau pun para saksi, gelas tersebut ditemukan oleh kepolisian pada hari yang sama, 11 April 2017, sekira pukul 10.00 WIB dalam kondisi berdiri.


    "Sehingga sudah barang tentu, sidik jari tersebut masih menempel dalam gelas dan botol, terlebih lagi pada saat ditemukan gagang gelas tidak bercampur cairan air keras itu," ujar Kurnia.


    Selain itu, lanjut Kurnia, botol dan gelas yang digunakan oleh pelaku pun tidak dijadikan barang bukti dalam proses penanganan perkara ini.


    Bahkan dalam perkembangan penanganan perkara diketahui ada fakta yang disembunyikan oleh kepolisian.


    Hal ini terkait dengan pengakuan dari terdakwa yang menyebutkan bahwa persiapan penyiraman telah dilakukan sejak kedua orang itu masih berada di markas Brimob.


    "Padahal, persiapan penyiraman dilakukan di dekat kediaman korban, ini dapat dibuktikan dari aspal yang terkena siraman air keras saat pelaku menuangkan dari botol ke gelas," katanya.


    Kedua, CCTV di sekitar kediaman Novel Baswedan tidak dijadikan barang bukti.


    Kurnia mengujarkan, pada 10 Oktober 2017 yang lalu Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menyampaikan bahwa kepolisian telah mengumpulkan 400 CCTV dari lokasi penyerangan dalam radius 500 meter.


    Namun, berdasarkan pengakuan Novel dan saksi diketahui terdapat beberapa CCTV yang sebenarnya dapat menggambarkan rute pelarian pelaku akan tetapi tidak diambil oleh kepolisian.


    Bahkan, beberapa CCTV di sekitaran rumah Novel diketahui juga memiliki resolusi yang baik untuk dapat memperjelas wajah pelaku dan rute pelarian.


    "Definisi dari barang bukti sebenarnya mencakup benda-benda yang dapat memberikan keterangan bagi penyelidikan tindak pidana, baik berupa gambar atau pun rekaman suara," ujarnya.


    Selain itu, imbuh Kurnia, fungsi dari barang bukti juga sebagai media untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara yang ditangani.


    "Dapat simpulkan bahwa kumpulan CCTV yang diperoleh kepolisian hanya sekadar untuk menyamakan dengan pengakuan para pelaku," katanya.


    Ketiga, Cell Tower Dumps (CTD) tidak pernah dimunculkan dalam setiap tahapan penanganan perkara.


    Kurnia menjelaskan, CTD adalah sebuah teknik investigasi dari penegak hukum untuk dapat melihat jalur perlintasan komunikasi di sekitar rumah korban.


    Namun dalam proses penanganan perkara, katanya, mulai dari penyidikan sampai persidangan, rekaman CTD itu tidak pernah ditampilkan oleh kepolisian.


    "Terlebih lagi dalam kejahatan terorganisir seperti ini, dapat dipastikan para pengintai dan pelaku melakukan komunikasi dengan menggunakan jaringan selular," kata Kurnia.


    "Atas dasar ini, maka dapat dikatakan bahwa ada upaya dari terlapor untuk menutupi komunikasi-komunikasi yang ada di sekitar rumah korban, baik pada saat sebelum kejadian atau pun setelahnya," sambungnya.


    Keempat, minim penjelasan terkait sobekan baju gamis milik Novel Baswedan.


    Kurnia mengatakan, pada persidangan tanggal 30 April 2020 majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara memperlihatkan baju gamis yang dikenakan oleh korban saat kejadian penyiraman air keras terjadi.


    Namun, menurutnya, hal yang janggal adalah terdapat sobekan pada baju gamis milik korban tersebut.


    Adapun menurut pengakuan dari kepolisian baju tersebut disobek untuk kepentingan forensik karena terkena siraman air keras.


    "Penting untuk ditegaskan bahwa setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian mestinya dapat diikuti dengan dokumentasi," tegasnya.


    Dalam hal ini, kata Kurnia, Novel Baswedan tidak pernah mendapatkan kejelasan informasi terkait dengan sobekan baju tersebut dan seperti apa hasil forensiknya.


    Berdasarkan poin-poin yang disebutkan, kata Kurnia, maka patut diduga Irjen Rudy Heriyanto selaku mantan DirKriMum Polda Metro Jaya melanggar ketentuan yang tertera dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.


    Sumber : rri.co.id

    Oleh      : Redaksi jaguarnews77.com


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini