JAGUARNEWS77.com // Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, negara akan berupaya keras untuk memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM Berat masa lalu. Upaya pemulihan hak korban tersebut menjadi langkah penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia.
"Saya dan pemerintah berusaha memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana. Tanpa menegasikan penyelesaian yudisial," ungkap Presiden dalam keterangan pers di Istana Merdeka, Rabu (11/1/2023).
Kepala Negara mengatakan, pemerintah akan berupaya keras agar tidak terjadi lagi pelanggaran HAM berat di masa yang akan datang. Ia pun memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD untuk mengawal upaya konkret tersebut.
"Saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM berat tidak akan terjadi lagi di Indonoesia di masa akan datang. Dan saya minta kepada Menkopolhukam untuk mengawal upaya konkret pemerintah agar kedua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik," katanya.
Sebelumnya, Presiden atas nama negara mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat di masa lalu. Setidaknya ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui oleh negara, yaitu:
1) Peristiwa 1965-1966,
2) Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985,
3) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989,
4) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989,
5) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,
6) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,
7) Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999,
8) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999,
9) Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999,
10) Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002,
11) Peristiwa Wamena, Papua 2003,
12) Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
"Saya sebagai Kepala Negara RI mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelangaran HAM berat," kata Preside.
Dalam kesempatan yang sama, Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan, penyelesaian secara yuridis sudah diupayakan pemerintah. Hanya saja Mahkamah Agung membebaskan semua tersangka karena bukti-bukti secara hukum tidak cukup.
"Presiden membuka jalan menyelesaikan kebuntuan ini. Dengan membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat di masa lalu," ujar mahfud.
Mahfud menjelaskan, berdasarkan pasal 46 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000, pelanggaran HAM berat itu harus tetap diproses ke yudisial. Karena itu pihaknya mengajak Komnas HAM dan DPR menempuh jalur tersebut.
"Jadi tim ini tidak menutup dan mengalihkan penyelesaian yudisial menjadi penyelesaian nonyudisial. Bukan, yang yudisial silakan jalan," ujarnya.
"Bahwa itu kejahatan, iya, tapi bukan pelanggaran HAM berat karena itu berbeda. Dan kalau kejahatannya semua sudah diproses secara hukum tapi yang dinyatakan pelanggaran ham beratnya itu memang tidak cukup bukti," ucap Mahfud. (Sumber : KBRN/Red)